Jakarta , JPA News
Chris Komari Activist Democracy / Initiator Rumah Demokrasi Modern (RDM) & Partai Demokrasi Modern (PDM) menyampaikan sebuah solusi alternative dari dia pribadi dan para Anggota Rumah Demokrasi Modern (RDM) & Partai Demokrasi Modern (PDM) dalam memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.
Pilihan itu adalah:
1). Kembali ke system lama (Pancasila, Preambule, UUD 1945, MPR, DPR dan GBH) dengan perbaikan melalui addendum.
2). Menjalankan system demokrasi penuh (full fledged democracy) dengan mengadopsi 11 pilar-pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip yang menjadikan demokrasi demokratis.
Tawaran terbuka, solusi alternative dan usaha reconciliation antara para pembela system lama dan penggemar nilai-nilai demokrasi dan system pemerintahan demokrasi penuh (full fledged democracy).
“Saya ingat perjuangan Mohammad Natsir dari Masyumi dengan pakta INTEGRAL yang berhasil menyatukan Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi NKRI.
Saya ingin menjadikan spirit Pak Natsir itu untuk menyatukan antara pendukung system pemerintahan lama dengan para penggemar nilai-nilai demokrasi.
Is it possible…? Everything is possible.
A). Bagaimana caranya kembali ke UUD 45…?
Sebelum kita membicarakan bagaimana caranya kembali ke system lama, mungkin ada baiknya kita memahami dan menyadari beberapa hal dibawah ini:
1). Dengan segala kelebihan dan kekurangan Pancasila, Preambule dan UUD 45, kita sebagai generasi penerus bangsa harus menyadari bahwa dokumen itu adalah hasil karya dan hasil kompromi para pendiri bangsa yang harus kita hormati, kita jaga dan kita lestarikan.
2). Meskipun begitu, dokumen UUD 1945 itu sangat sederhana, banyak kekurangan dan perlu banyak perbaikan dan penyempurnaan lewat addendum.
Kekurangan UUD 1945 itu banyak sekali, diantaranya:
✓ Tidak ada satupun BAB, PASAL dan AYAT membahas dan mengatur pemilu.
✓ Tidak ada satupun BAB, PASAL dan AYAT yang membahas dan mengatur tentang separation of power.
✓ Tidak ada satupun BAB, PASAL dan AYAT yang membahas dan mengatur secara explicit batas-batas hubungan kerja, fungsi dan kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yang disebut checks and balances.
✓ Bila terjadi pertentangan dan perselisihan antar lembaga tinggi negara terhadap satu kasus, satu peristiwa dan satu event, akan menciptakan krisis konstitutional.
✓ Tidak ada satupun BAB PASAL dan AYAT yang membahas dan mengatur tentang judicial review (JR).
✓ Banyak ayat dalam UUD 1945 yang mengunakan bahasa terlalu umum (broad and vague) yang menimbulkan multi TAFSIR atau ambiguitas, seperti BAB 1, PASAL 1, AYAT 2, UUD 1945
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).”
Apa makna kata “dilakukan”…?
Apakah transfer of power, kudeta kedaulatan rakyat, atau sekedar perwakilan kedaulatan rakyat…?
Bila kedaulatan tertinggi adalah ditangan rakyat, apa alat, kekuasaan dan mekanisme yang bisa dipakai oleh rakyat untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat untuk melawan tyranny MPR dan Presiden…?
Semua itu tidak diatur dan dibahas dalam UUD 1945.
Kedaulatan MPR dan kedaulatan tertinggi rakyat dalam BAB 1, PASAL 1, AYAT 2 menjadi vague (kabur dan tidak jelas).
Pada era pemerintahan ORLA dan ORBA, kedaulatan tertinggi rakyat hanya HOAX…!!!
Selama 22 tahun pemerintahan ORLA, yang muncul SOEKARNO-CRACY.
Selama 32 pemerintahan ORBA, yang muncul SOEHARTO-CRACY.
✓ Tidak ada satupun BAB, PASAL dan AYAT yang membahas dan mengatur secara explicit tentang otonomi daerah, kekuasaan negara tersentralisasi di pemerintatan pusat, khususnya ditangan Presiden yang tidak memiliki batas waktu jabatan Presiden (term limits).
✓ Kekuasaan lembaga Legislative (MPR/DPR) sangat lemah, hanya bersifat sebagai pembantu Presiden.
Kondisi ini membuka peluang untuk menghasilkan pemerintahan authorianism seperti (Soekarno-cracy) di era ORDE LAMA dan (Soeharto-cracy) di era ORDE BARU.
✓ Apalagi di era ORDE BARU, ada dwi fungsi ABRI, ada utusan TNI/POLRI di MPR yang jelas KACUNG Presiden dan mayoritas utusan golongan dan utusan daerah adalah orang-orang titipan (hand-picked) oleh penguasa yang sudah dikondisikan.
Meskipun MPR memiliki kekuasaan untuk mencopot Presiden, tetapi pada prakteknya lembaga Legislative (MPR/DPR) hanya sebagai pembantu Presiden, tidak memiliki legislative power yang seimbang untuk bisa melakukan scrutiny, oversight, checks and balances terhadap kekuasaan Presiden.
Karena dalam UUD 1945 tidak membahas dan mengatur secara explicit batas-batas hubungan kerja dan kekuasaan antar lembaga tinggi negara (checks and balances).
✓ Tidak ada satupun BAB PASAL dan AYAT yang membahas dan mengatur secara explicit tentang Hak Asazi Manusia (HAM), meskipun Pancasila membahas kemanusiaan dan keadilan sosial.
Semua yang saya sebutkan diatas itu hanya sebagian dari kelemahan dan kekurangan UUD 1945 yang membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan dengan ADDENDUM.
Semoga dengan pengetahuan dan kasadaran akan banyaknya kelemahan dan kekurangan UUD 1945, para pembela system pemerintahan lama dan pembela UUD 1945 mau menerima perubahan dan penyempurnaan UUD 1945 lewat ADDENDUM.
Addendum itu sendiri sifatnya menambah, memperjelas dan menyempurnakan, dan tidak boleh mengubah dan mengurangi isi, scope, tujuan dan cita-cita yang ada dalam redaksi teks asli UUD 1945.
…..
B). UUD 2002 hasil amandemen 4x (kali).
Lepas dari benar atau salah, dan campur tangan asing yang kongkalikong dengan para akademisi di Indonesia (UI, UGM dan ITB) untuk mengubah UUD 1945 sebanyak 4x melalui AMANDEMEN, tujuan awalnya adalah ingin menjadikan UUD 1945 itu lebih “demokratis”, tetapi kebalasan.
Kebalasanya dimana…?
1). Mengubah isi, tujuan, scope dan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia dengan mengubah isi UUD 1945 sebanyak 97%.
Perubahan yang significant itu bukan lagi amandemen, tetapi bisa disebut KUDETA Konstitusi UUD 1945.
2). Amandemen ke 3 tahun 2001, dengan menambah pasal 22E yang memberikan HAK EXCLUSIVE peserta pemilu adalah partai politik, jelas itu satu bentuk KUDETA kedaulatan tertinggi rakyat.
Perserta PEMILU seharusnya adalah warga negara Indonesia (WNI) yang sah dan qualified, bukan partai politik saja.
3). UU MD3 yang memberikan hak recall atau, Hak Pergantian Antar Waktu (P.A.W) anggota DPR kepada Ketua Umum Partai Politik adalah juga satu bentuk KUDETA kedaulatan tertinggi rakyat.
4). UU PARTAI POLITIK yang membiarkan partai politik membuat AD/ART yang memberikan hak exclusive kepada Ketua Umum Partai Politik untuk menentukan seorang CAPRES dan CAWAPRES (single handedly) adalah juga satu bentuk KUDETA kedaulatan tertinggi rakyat.
Meskipun tujuan awalnya amandemen UUD 1945 itu cukup baik untuk menjadikan UUD 1945 lebih demokratis dengan memberikan batas waktu masa jabatan Presiden, membuka PILSUNG dan memberi peluang selebarnya kepada masyararakat untuk bisa bebas berbicara berekpresi berpendapat, menulis, berkumpul berasosiasi dan mendirikan partai politik; sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Tetapi berjalannya waktu, para oligarki politik itu terus melakukan amandemen UUD 1945 untuk memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada KETUA UMUM Partai Politik dengan mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat, secara legal dengan mengunakan perangkat UU di DPR, dan sekaligus mengubah DEMO-KRASI menjadi PARTAI-KRASI.
Amandemen UUD 1945 yang kebablasan inilah yang harus kita koreksi kembali.
✓ Perdebatan untuk kembali ke UUD 1945 atau tidak itu sudah usang dan sudah kadaluarsa.
✓ Perdebatan amandemen UUD 1945 itu konstitutional atau tidak, juga sudah usang dan sudah kadaluarsa.
Sebab benar atau tidaknya amandemen itu sudah terjadi 4x dan sudah berjalan selama 26 tahun lebih dan sudah menghasilkan produk hukum ratusan, ribuan dan bahkan jutaan produk politik dan produk hukum yang tidak mungkin bisa di undone (di putar balikan) secara retroactive.
That’s not possible seperti membatalkan PILPRES 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024 dan semua UU yang dikeluarkan oleh DPR selama kurun waktu 26 tahun itu.
Belum lagi undo and undone PERPPU, PERPRES dan KEPRES selama 26 tahun berjalan.
Take ubahnya seperti Dekrit Presiden Soekarno, tanggal 5 Juli 1959, meskipun unconstitutional, tetap diterima unchallenged hingga sekarang karena sudah terjadi.
Tidak mungkin dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959 yang unconstitutional itu kita batalkan.
Amandemen 4x UUD 1945 itu meskipun bisa di challenged secara hukum dan secara constitutional lewat Pengadilan atau Judicial Review (JR), hasil keputusan itu tidak mungkin retroactive
Karena sudah menghasilkan ribuan atau jutaan produk politik dan produk hukum selama 26 tahun berjalan.
Sehingga kembali ke nol, itu tidak mungkin.
Political ramification-nya terlalu banyak, terlalu ruwet, terlalu complex, complicated dan jlimet.
…..
C). Terus apa solusinya dan bagaimana caranya kembali ke UUD 1945 dengan cara yang less complicated dan constitutional…?
Cara itu hanya satu, lepas dari pemikiran yang pernah saya tulis dalam salah satu poin MPFTA .
Manifesto Politik FTA (Forum Tanah Air), yang ketika PILPRES 2024 berubah menjadi FRA (Forum Relawan Anies).
Sekarang sepertinya sudah berubah menjadi FRO (Forum Relawan Oposisi).
Cara itu adalah lewat Amandemen ke 5 UUD 1945, dengan 1 agenda amandemen yakni:
1). Memisahkan teks redaksi asli UUD 1945 dari teks redaksi amandemen 4x (1999, 2000, 2001 dan 2002).
2). Jadi dalam amandemen ke 5 itu, ibarat satu buku:
✓ (BAB I) berisi teks redaksi asli UUD 1945 secara utuh.
✓ (BAB II) hanya berisi pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen tahun 1999.
✓ (BAB III) berisi pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen tahun 2000.
✓ (BAB IV) berisi pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen tahun 2001.
✓ (BAB V) berisi pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen tahun 2002.
Jadi dalam amandemen ke 5 itu hanya memisahkan teks redaksi asli UUD 45 dari teks redaksi amandemen 4x.
Sehingga dalam amandemen ke 5 itu, tetap ada teks redaksi asli dan teks redaksi amandemen 4x UUD 1945.
Cara ini constitutional dan tidak ada yang dibatalkan, tidak ada perubahan hukum Konstitusi berlaku retroactive, dan karena itu tidak ada political ramification yang lain.
Semuanya UUD 2002 itu masih utuh, hanya dipisahkan, antara teks redaksi asli UUD dari teks redaksi amandemen 4x.
3). Setelah amandemen ke 5 itu dilakukan “PEMISAHAN” (SECULARISING )dengan baik dan constitutional, baru DPR bisa melakukan amandemen ke 6 untuk mengubah, memperbaiki dan membatalkan pasal-pasal dan ayat-ayat amandemen 4x yang keluar dari isi, tujuan perjuangan, scope dan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang ada pada teks redaksi asli UUD 1945.
Tahu khan kata “SECULAR” itu artinya PEMISAHAN…? Bukan gendruwo, rondo ucul atau kolojengking yang harus di takuti.
Cara, pendekatan dan methode kembali ke UUD 1945 seperti ini adalah yang terbaik, constitutional, less complicated dan less political ramifications.
Jadi bagaimana caranya kembali ke UUD 1945 itu tidak sulit, tehnisnya juga sederhana.
Yang super duper challenging dan sangat sulit adalah mencari dukungan dan political will dari oligarki politik.
Khususnya dukungan dari Ketua Umum Partai Politik yang mengusai semua anggota DPR dengan ancaman mutasi dari jabatan di DPR dan ancaman Pergantian Antar Waktu (P.A.W) yang ada pada UU MD3.
Untuk melawan kekuasaan Ketua Umum Partai Politik itupun, kami sudah memberikan solusi untuk mendobrak status quo dengan menuntut agar HAK RECALL dan RECALL ELECTION diberikan kepada rakyat Indonesia sebagai pemeggang kedaulatan tertinggi.
Tetapi banyak aktifis politisi dan akademisi ditanah air yang CLUELESS dengan HAK RECALL dan RECALL ELECTION yang sudah dijalankan dibanyak negara maju yang menjalankan FULL FLEDGED DEMOCRACY.
Dibilang hak recall dan recall election itu hilir, bukan Hulu dan tidak akan memecahkan the underlying issues.
Di negara bagian State of California, hak recall dan recall election itu sudah dilakukan mulai tahun 1913 hingga sekarang.
Sudah berjalan selama 111 tahun. Anehnya, di Indonesia malah ditolak dengan berbagai nonsense excuses…!!
PEMILU dalam demokrasi itu bukan hanya:
PILPRES, PILEG, PILKADA dan REFERENDUM.
Masih ada RECALL ELECTION untuk mencabut mandat rakyat ditengah jalan.
Masih ada BALLOT INITIATIVE ELECTIONS, untuk meminta IJIN dan PERSETUJUAN dari rakyat, sebagaimana yang dimandatkan oleh pilar demokrasi nomer 2:
“Government based upon consent of the governed”
Pemerintahan demokrasi dijalankan atas persetujuan yang dipimpin, dalam hal ini adalah persetujuan dari rakyat.
Hak recall dan recall election itu bukan masalah hilir atau hulu, tetapi bagian dari perangkat DEMOKRASI untuk menjamin kedaulatan tertinggi rakyat selalu ada ditangan rakyat….L.O.L 😂.